Fenomena Facebook
Tua muda, kaya miskin, cakep
jelek, cowok cewek dan semua kategori ini-itu, semua dapat mengaksesnya, melintasi
dunia maya yang memang tak ada batasnya. Ibu-ibu di pasar, buruh bangunan,
anak-anak SD, abang-abang becak, sampai manajer yang tinggal di gedung-gedung
pencakar langit, semua mengenal Facebook. Tak afdol rasanya jika sehari tanpa yang
membuka 'buku wajah' ini. Walau hanya sekedar ber 'hai' atau nulis-nulis status
tidak jelas, pendeknya facebook memberi warna tersendiri dalam hidup kita.
Mulai dari bangun tidur sampai kita beranjak ke ranjang yang samapun, kadang
tangan kita tak lepas mengutak-atik HP untuk ber fesbuk ria. Dan parahnya akses
Facebook ini tidak hanya kita temukan di warnet-warnet, tetapi sudah merambah
ke semua lapisan dunia manusia tanpa membedakan status, golongan, kasta atau
apapun yang mengkotak-kotakannya....Entah sihir jenis apa yang dipakai sehingga
bisa menghipnotis manusia sedemikian rupa..
Fungsi awal Facebook ini
sebetulnya sudah sangat jelas, yakni membantu kita menghubungkan dengan
teman-teman lama, atau orang-orang yang pernah berkaitan langsung dalam
perjalanan hidup kita. Diperkenalkan pertama kali oleh Mark Zuckerberg pada
tahun 2004, mahasiswa Harvard ini telah membuat gebrakan baru dalam dunia
teknologi informasi.Ia sendiri tak membayangkan kalau perkembangan Facebook
bisa sangat pesat, bahkan bisa dikatakan begitu mendunia. Bahkan di Indonesia sendiri, Facebook begitu
populer dibanding ‘rekan sejawat’ nya, yakni Twitter. Indonesia pernah ‘nangkring’
di posisi ke empat pengguna facebook terbesar di dunia. Menakjubkan! Tetapi
seiring bergulirnya waktu, fungsi
Facebook kemudian melebar ke mana-mana, menjadi suatu fenomena yang tak
terbendung, dan keluar dari koridor yang sudah digariskan. Dari sekedar jual
ini-itu, cari kenalan..sukur-sukur kalo bisa dijadikan pacar, sampai hal-hal
yang mengarah ke tindak kriminal. Sudah teramat sering layar kaca di rumah kita
dipenuhi berita-berita penyalahgunaan Facebook. Mulai dari penipuan,
penculikan, pelecehan sampai tindak kejahatan dalam skala besar. Mirisnya,
secara sadar dan tidak sadar kita telah mengikuti arus besar yang dibuatnya. Hmmm…pasti
Mark Zuckerberg kecewa melihat ini. Di kalangan masyarakatpun, keprihatinan
sudah merebak di mana-mana, sehingga memunculkan wacana untuk menghapus
jaringan pertemanan ini dari dunia maya. Bijaksanakah? Saya rasa tidak. Sikap
frontal kita yang sedemikian rupa justru akan menjadi bumerang buat kita di
kemudian hari. Memang tak dapat dipungkiri, bahwa gaya hidup masyarakat kita
mulai dinamis dan soliter seiring lajunya pesatnya dunia teknologi informasi.
Kalau dahulu kita dihadapkan dengan masalah-masalah yang simpel dan tak terlalu
kompleks, sekarang zaman sudah berubah. Tak tanggung-tanggung, bahkan menggerus
semua norma-norma yang berlaku di masyarakat, dan menggantikannya dengan
tatanan baru yang lebih ‘modern’. Benarkah demikian?
Sebagai orang tua kita tak ada
salahnya kalau kita juga mengikuti perkembangan teknologi. Paling tidak kita
sedikit ‘melek teknologi’ dan tidak terkesan ‘gagap teknologi’. Apalagi
mensikapi perkembangan anak-anak kita yang mulai terkepung setan-setan
teknologi yang siap menyuntikkan virusnya kapanpun di saat kita lengah. Bahkan
di saat kita istirahat di malam haripun, rasanya tak aman membiarkan anak-anak
kita tersesat di belantara teknologi seperti ini. Yah, mungkin sudah
sunatullah, setiap kutub positif pasti berlawanan dengan kutub negatif.
Semuanya sudah diciptakan berpasang-pasangan. Setiap efek positif pasti diikuti
juga dengan efek negatifnya. Dunia memang sedang berubah, dan kita sudah barang
tentu tak bisa menghentikan perubahan itu. Tapi tentu saja kita punya pilihan.
Mengikuti arusnya, tentu saja bukan hal yang tidak baik juga. Bahkan kita
memerlukannya, karena kita hidup di era informasi dimana tak ada batasan lagi
yang memisahkan. Jangan sampai kita dicap seperti katak dalam tempurung.
Menutup diri dari hingar bingar globalisasi juga bukan suatu hal yang
bijaksana. Tak semua dampak teknologi itu buruk kan? Yang paling penting yang
harus kita punyai adalah suatu pegangan. Kita tahu mana yang ‘boleh’ dan yang
‘tidak boleh’. Secara tegas, kita punya batasan yang tak boleh kita langgar,
dan peraturan tak tertulis itu harus kita sosialisasikan ke anggota keluarga
kita. Termasuk ke bahasan awal kita, yakni Facebook. Melarang anak-anak kita untuk berkelana ke
dunia maya itu mungkin tidak efektif, karena mereka cenderung akan memandang
kita terlalu otoriter, arogan atau semacam itu lah. Parahnya kalau kita di cap
anti-modernisasi atau kolot,jadul dan sebagainya dan sebagainya So, what should we do? Menurut saya,
benteng perlindungan pertama anak-anak kita terletak pada
keluarga. Pendidikan agama adalah bekal yang tak bisa dianggap remeh. Kualitas
orang tua juga dituntut dalam hal ini. Tak
logis jika kita berteriak-teriak menyuruh anak kita agar menjadi replika diri
kita, sementara kita sendiri begitu bobrok! Bukankah buah apel jatuh tak jauh
dari pohonnya? Atau kalau orang asing bilang Like Father Like Son. Demikian pula suasana keluarga yang harmonis
juga mempunyai andil besar dalam pembentukan kepribadian anak-anak kita.
Seorang anak akan merasa nyaman dan terlindungi dalam ikatan keluarga yang
harmonis.
Kita tidak mungkin mengawasi aktivitas anak kita selama 24
jam sehari. But at least, kita tahu
dengan siapa mereka menghabiskan waktunya, siapa teman-teman dekatnya dan yang
paling penting, proteksi awal sudah kita setting
dalam mindset mereka. Menyalahkan
Facebook juga bukan suatu tindakan yang bijaksana. Karena itu adalah suatu
keniscayaan yang tak bisa kita hindari. So,Come
on…mungkin kita harus lebih membuka mata lebih lebar. Kita sudah ditengah
jalan dan kita tidak boleh menutup mata dengan hal ini. Mau tidak mau, suka
tidak suka, kita dihadapkan dengan realita yang mungkin tidak tergambarkan
dalam pikiran kita. Tapi selalu ada pilihan. Yah..hidup selalu tentang pilihan.
Kita dituntut agar memilih mana yang terbaik buat keluarga kita. Anyway..selamat berjuang!
0 Response to "Fenomena Facebook"
Posting Komentar