Setetes asa di Stadion Lang-lang
Sore itu, mentari menyapa hangat
dengan sinarnya yang keemasan ke seluruh penjuru Kota Bontang. Jarum jam mulai
merapat ke angka lima, saat serombongan anak muda berpakaian olahraga yang trendy, memasuki kompleks stadion yang berdiri
megah di Jalan KS Tubun ini. Megah? Jangan dibayangkan megahnya seperti stadion
San Siro nya AC Milan atau Stamford Bridge nya Chelsea. Tetapi, paling tidak
stadion ini menjadi favorit bagi warga Bontang untuk melakukan olahraga, atau
sekedar jalan-jalan sore menghilangkan penat setelah seharian dihajar rutinitas.
Stadion yang aslinya bernama Bessai Berinta ini memang terletak agak jauh dari
pusat kota, tetapi tidak berarti pula sepi pengunjung. Memang, dari segi ukuran
stadion ini tidak begitu besar. Hanya lapangan bola seperti pada umumnya,
dilengkapi dengan tribun penonton yang usang, jogging track, lapangan basket, lapangan voli, arena panjat
tebing, dan play ground buat anak-anak. Tak ada yang istimewa. Walaupun begitu,
kalau kita berkunjung ke sana di sore hari, kita akan mendapati stadion ini
dipadati oleh warga Bontang dari berbagai usia dan golongan. Semua berbaur
menjadi satu, larut dalam suasana sore yang nyaman. Mulai dari anak-anak yang
berteriak-teriak riang di arena bermain, para ABG yang sibuk dengan skate board nya, bahkan kakek-kakek yang
lanjut usia pun turut meramaikan suasana stadion tersebut.
Seperti kata
pepatah “Ada gula ada semut “, rupanya aktivitas warga Bontang ini menarik
perhatian beberapa pedagang kaki lima untuk mencoba keberuntungan. Dari mulai
masuk ke halaman stadion, kita sudah disambut deretan pedagang yang memarkir
dagangannya berjajar-jajar, mulai dari penjual roti bakar, es tebu, pentol ,
martabak, tak ubahnya jika memasuki sebuah
food court di sebuah mall kita dimanjakan dengan aneka menu
makanan penggugah selera. Dan itulah yang akan kita alami di stadion ini. Aroma
martabak mini langsung menggelitik hidung, dilanjutkan dengan aroma aneka
makanan lain yang tentunya harganya terjangkau oleh kocek. Memang, konvoi para
pedagang ini cukup menguntungkan juga. Mereka menyediakan minuman dan makanan
kecil bagi para pengunjung stadion itu, sehingga mereka tidak repot-repot
keluar stadion.
Di dekat lintasan
jogging di bagian depan, seorang
Bapak paruh baya dengan gerobak dorong berwarna hijau bertuliskan Es Dawet
Banjarnegara, tampak sabar menanti penjualnya. Dialah Pak Narto, seorang
pedagang es dawet yang belum lama menjejakkan kakinya di Kota Bontang untuk
mengadu nasib. Gurat-gurat lelah tampak tergambar jelas di wajahnya, dan
sebentar kemudian seulas senyum merekah ketika dua orang gadis berjilbab
mendatangi gerobaknya dan memesan dua gelas es dawet. Bapak lima anak yang
dilahirkan pada tanggal 18 Februari 1958 tampak bersemangat melayani
pelanggannya. Stadion Langlang adalah jadwal mangkal rutinnya setiap sore,
setelah seharian berkeliling Bontang menjajakan dagangannya. Luar biasa! Energi
bapak ini seolah tak pernah habis. Memikirkannya pun sudah membuat kita lelah.
Saya sempat memesan satu gelas es dawetnya yang terasa manis menggoyang lidah. Rasa
buah nangka nya betul-betul terasa pas. Obrolan ringan pun terjadi spontan, ngalor-ngidul-ngetan-ngulon, dengan
Bahasa Jawa dialek Banyumas-an yang sangat kental. Peluh sebesar jagung mulai
membasahi keningnya. Tetapi raut wajahnya masih menunjukkan semangat yang luar
biasa. Sore itu, ia baru mendapat uang sekitar Rp 113.000, dan itu membuatnya
cemas. Maklumlah, dia bukan pemilik modal yang sebenarnya. Ia harus menyetor sejumlah
75 persen dari pendapatannya keseluruhan.
Sore terus
berlalu. Beberapa orang mulai meninggalkan stadion itu. Tetapi Pak Narto masih
setia menunggu dagangannya, berharap masih ada orang yang mau menikmati es
dawetnya. Ia sangat ingin pulang ke Pulau Jawa menyambut Lebaran bersama
keluarga yang ditinggalkannya. Tetapi rasanya ia harus mengubur dalam-dalam
harapannya itu. Lembar-lembar rupiah yang ia kumpulkan rasanya belum cukup
untuk mewujudkan keinginannya. Ada kerinduan yang tertahan di dadanya yang
enggan ia ungkapkan. Diam-diam ada rasa kekaguman yang menyelinap dalam benak
saya. Ya, semangat Pak Narto ini benar-benar menjadi suatu inspirasi
tersendiri. Bahasanya yang santun, senyumnya yang tulus, dan semangat pantang
menyerahnya betul-betul patut diacungi jempol. Kami berhenti mengobrol ketika seorang
bapak datang dan membeli beberapa bungkus untuk dibawa pulang. Mungkin itu
adalah pembeli terakhirnya. Sementara, sang surya yang mulai condong ke barat, hilang
ditelan cakrawala. Ia bergumam tentang
suatu hal yang tak dapat saya artikan. Obrolan singkat itu berakhir. Ia harus bersiap pulang ke tempat kost nya untuk
merebahkan dirinya barang sejenak, melemaskan otot-ototnya dari penat duniawi
dan memanjakan alam khayalnya.
Pak Narto adalah
sepenggal kisah dari perjuangan hidup manusia untuk tetap survive dalam dunia buas seperti ini. Ia menggantungkan asa
terakhirnya pada Stadion Langlang. Mungkin karena stadion itu selalu ramai di
sore hari, dan juga jaraknya berdekatan dengan tempat tinggalnya. Saban hari,
ia harus bekeliling ke penjuru Bontang untuk menjajakan dagangannya, bersaing
dengan puluhan penjual serupa yang bermotivasikan sama. Dagangan Pak Narto
kerap habis kalau ia menggelar dagangannya di Langlang. Tetapi yang membuatnya
khawatir adalah anomali cuaca di Kota Bontang yang membingungkan. Bagaimana
tidak? Rasanya tak ada seorangpun yang ingin minum es jika cuaca sedang hujan.
Itu sangat mengkhawatirkannya. Tetapi untunglah di Stadion Langlang, hanya ada
satu penjual es dawet saja, yakni Pak Narto.
Ia tidak perlu bersaing dengan penjual Es Tebu yang mangkal di
sebelahnya. Lagipula ia yakin bahwa rezeki sudah diatur oleh Allah. Dan Pak
Narto ini bukan satu-satunya orang yang menggantungkan harapan pada stadion ber
plat merah ini. Ada puluhan pedagang kecil lain yang yang berharap sama. Mereka
tidak muluk-muluk bermimpi menjadi pengusaha atau apa. Bisa makan hari ini pun
mereka sudah bersyukur. Ya, stadion Langlang mungkin bukan stadion yang terbaik
atau sempurna. Saya tidak berani lagi membandingkan dengan stadion-stadion
lain. Tetapi ‘keramahannya’ mampu
menyedot antusiasme masyarakat untuk beraktivitas di tempat ini. Hal itulah
yang membedakan dengan tempat lain. Ibarat sebuah rumah, pintu-pintunya selalu
terbuka bagi siapa saja yang ingin berkunjung. Termasuk Pak Narto dan
rekan-rekannya. Mereka berbekal keyakinan dan optimisme bahwa mereka bisa
merenda asa di Stadion Langlang. Selalu ada asa di stadion Langlang. Walau
hanya setetes…
Mentari telah
tenggelam di ufuk barat. Stadion itu kembali sepi, ditelan kegelapan yang
meraja. Para manusia kembali ke rumah masing-masing untuk melepaskan penatnya
dan bercengkrama dengan keluarganya. Tetapi tidak begitu buat Pak Narto. Ia
hanya bisa merindukan keluarganya yang terpisah ratusan kilo di Tegal sana.
Tapi semangatnya masih menyala. Esok ia akan kembali ke Stadion Langlang,
menjajakan es dawetnya yang terasa manis, semanis harapan-harapannya. Semoga
harapannya untuk bertemu keluarganya kembali dapat segera terwujud. Semoga.
9 Maret 2020 pukul 03.49
Bingung Cari Agen Poker Terpercaya??
Percayakan Kepada DonacoPoker...
Agen Profesional Yang Sudah Lama Berkembang...
Proses Transaksi Yang Cepat dan Aman Dengan Pelayanan Yang Ramah dan Memuaskan..
Ayo!! Jangan Ngaku Ahlinya Poker Jika Belum Bermain di Donaco Poker.!!
Segera Bergabung dan Dapatkan Tips-Tips Menang Dari Kami..
Hubungi Kami Secepatnya Di :
WHATSAPP : +6281333555662